Haruskah kita menyerah pada takdir yang menyakitkan itu?

| Kamis, 18 Desember 2008
Bagaimanakah sikap kita seandainya terkena penyakit langka yang bernama Still’s Disease? Sel-sel darah putih kita kehilangan kemampuan untuk membedakan antara sel-sel tubuh yang sehat dan bakteri atau virus yang merusak tubuh. Akibatnya, sistem kekebalan tubuh kita justru menyerang jaringan tubuh yang sehat dan menyebabkan peradangan serta nyeri sendi. Bagaimana?
Mungkin sampai tiga bulan, kita tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Kehidupan kita sangat tergantung orang lain. Bahkan, untuk mandi sekalipun, kita harus meminta tolong seseorang. Kalau capek sedikit saja, kita langsung pingsan.
Bagaimana? Apakah kita akan memilih terus berada di tempat tidur?
Setelah masa tiga bulan lewat, kita dapat mulai belajar berjalan. Meski tulang-tulang di tubuh kita terasa remuk, kita bisa kembali berjalan seperti semula. Untuk berjalan dalam jarak lima meter saja, kita harus melakukannya dalam lima menit. Sangat pelan. Rasanya seperti berjalan dengan seluruh tulang yang sudah patah. Sungguh sangat menyakitkan.
Bagaimana? Apakah kita harus menyerah pada takdir yang menyakitkan itu? Tidakkah dalam keadaan begini pun, kita sebetulnya masih bisa menggapai takdir yang menyenangkan, misalnya meniti karir setinggi-tingginya? Mau, nggak, kita bercapek-capek menuju puncak?
Eits, menggapai takdir yang menyenangkan dalam keadaan menyakitkan itu tidak mustahil lho! Tuhan berjanji, “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. … dan kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS Alam Nasyrah [94]: 6-
Belum yakin? Buktinya ada! Simak sajalah pengalaman Gita Rusminda dalam kisah nyata “Tulang mau patah, tapi terus berkarir di level internasional“.
Melalui shalat, Anda ingin lepas dari jerat persoalan berat? Bagus. Ingin bangkit menuju kesuksesan baru di berbagai bidang? Bagus sekali. Masalahnya, shalat yang bagaimanakah yang menjadi penolong kita?
Tak sedikit di antara kita yang rajin melakukan shalat, dan selalu berdoa memohon rezeki di dalamnya, tapi taraf kehidupan kita tidak mengalami peningkatan. Mengapa?
Dari sudut pandang ilahiah, itu mungkin karena Allah masih menahan rahmat-Nya dan Dia akan memberikannya di waktu lain yang lebih tepat. Namun dari sudut pandang insaniah, patutlah kita waspada, jangan-jangan itu karena cara shalat kita selama ini kurang cerdas!
Tanda-tanda orang yang mengerjakan shalat secara kurang cerdas antara lain:
• Enggan belajar lagi ilmu-ilmu tentang shalat, merasa sudah cukup karena telah hafal ucapan dan gerakan shalat;
• Melaksanakannya secara asal-asalan, tidak peduli akan adanya cara shalat yang efektif;
• Bershalat karena pengaruh kebiasaan atau tradisi, tidak ada peningkatan kualitas shalat dari waktu ke waktu.
Pada suatu masa, siang dan malam, rasa rinduku kepada “seorang bidadari yang tiada duanya” begitu memuncak. Berlinanglah air mataku tanpa dapat kutahan. Apalah dayaku?
Aku tak berkutik. Tiada yang bisa kulakukan selain berserah diri kepada Tuhan. Dan cara berserah diri kepada-Nya yang paling afdol mungkin adalah shalat secara khusyuk.
Masalahnya, hatiku sedang porak-poranda. Tubuhku lemas. Loyo. Bagaimana mungkin aku bisa bershalat secara khusyuk, sedangkan bangkit dari ranjang pun terasa berat sekali?
Ah, pikirku, biar sajalah! Biar saja terasa berat. Biar saja tak mampu bershalat secara khusyuk. Aku serahkan segala yang ada dalam diriku kepada Tuhan. Ya, segalanya kuserahkan, termasuk ketidak-mampuanku untuk bershalat secara khusyuk

Tidak ada komentar: