Menguras Lubuk Hati

| Kamis, 18 Desember 2008
Saat rukuk, kuadukan kembali gejolak jiwaku.
“Ya Allah! Kenikmatan insani, yang pernah Kau pinjamkan kepadaku melalui kedekatan kami berdua, selalu membayangi hari-hariku dan malam-malamku. Tawanya yang renyah, budi-pekertinya yang santun, olah-katanya yang menawan, suaranya yang merdu, senyumnya yang aduhai, parasnya yang cemerlang, cintanya yang begitu tulus kepadaku…. Semuanya begitu indah, bukan? Ya Tuhan! Sungguh aku penasaran.”
Diiringi rasa penasaran dan mata yang berkaca-kaca, aku berdiri kembali (i’tidal). Aku diam sebentar. Kubiarkan diri tidak lekas-lekas sujud. Kuberi kesempatan agar rasa penasaran dan berbagai emosi yang menggumpal di kepala itu menguap melalui seluruh pori-pori.
Bagaimana tidak menguap? Tadi, sewaktu berdiri, si dia kukembalikan kepada pemiliknya yang sejati. Kini, sewaktu berdiri lagi, si dia kukembalikan lagi. Pengembalian-ulang ini lebih mendalam karena dipicu oleh rasa penasaran yang begitu mendalam. Akibatnya, bergetarlah lubuk hati. Darinya, mengalirlah getaran-getaran ke seluruh tubuh yang lepaskan berbagai perasaan.
Getaran itu mengalir terus dan semakin kencang. Air mata turun membasahi pipi. Pandangan mata menjadi buram dan semakin buram. Bila kubiarkan begini, bisa-bisa kesadaranku menghilang. Bila kubiarkan begitu, bisa-bisa bisikan dari jin kusangka ilham dari Tuhan. Sekarang, sudah saatnya aku bertekuk-lutut di hadapan Tuhan.
Dengan bertekuk-lutut, aku bersujud. Kembali aku serahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Kali ini lebih total.
Dalam keheningan, kutatap kegagalanku dalam membina hubungan cinta dengan si dia. Air mata mengalir.
Dalam keheningan, kuakui betapa pedihnya putus hubungan dengannya. Air mata mengalir lagi dan terus mengalir.
Dalam keheningan, kukuras lubuk hati sedalam-dalamnya. Air mata membanjiri sajadah.
Pada mulanya, memang air mata duka yang aku kucurkan. Sementara pengurasan lubuk hati terus kuperdalam, jiwaku menjadi kering-kerontang. Tiada isinya selain penderitaan. Namun, ketika lubuk hatiku yang paling dalam sudah tersentuh oleh kesadaran-kesadaran baru, saat itulah air mata bahagia mulai berhamburan. (Kesadaran baru itu antara lain: “Jika aku bersabar menerima taqdir dan menyambut Hari Akhir, maka tentu Allah akan jadikan dia bidadariku kelak di surga, untuk selama-lamanya.”)
Puncaknya, dalam keheningan telaga air mata bahagia, tumbuhlah semangatku untuk bangkit dari sujud dan bangkit dari keterpurukan.

Tidak ada komentar: